Kamis, 01 Juli 2010 |
DIPONEGORO,(GM)- Jumlah desa rawan pangan di Jawa Barat selama enam bulan ini ditengarai mengalami peningkatan sekitar 370 persen. Dari sebelumnya Desember 2009 tercatat sebanyak 850 desa, pada Juni 2010 meningkat 3.150 desa menjadi 4.000 desa. Kondisi itu diduga terjadi akibat rendahnya daya beli masyarakat. "Desember 2009, jumlah desa rawan pangan 'kan diklaim ada sebanyak 850 desa, enam bulan kemudian menjadi 4.000 desa. Artinya terjadi peningkatan yang tinggi, lebih dari 300%. Ini perlu dipelajari kenapa bisa terjadi," kata Wakil Ketua Komisi E DPRD Jabar, Budi Hermansyah ketika dimintai tanggapannya tentang banyaknya desa rawan pangan, di Gedung DPRD Jabar, Jln. Diponegoro Bandung, Rabu (30/6). Menurutnya, berdasarkan informasi yang diterimanya pada Desember 2009, jumlah desa rawan pangan sebanyak 850 desa, yang tersebar di 26 kabupaten/kota. "Namun kemarin, saya baca di koran jumlahnya meningkat menjadi 4.000 desa. Ini peningkatan yang tajam dan perlu dicermati DPRD Jabar," kata Budi Hermansyah. Ia mengatakan, pihaknya akan meminta klarifikasi kepada Pemprov Jabar tentang hal tersebut. Jika data ini benar, maka perlu ada upaya-upaya cepat untuk membebaskan desa rawan pangan ini. "Kondisi ini sebenarnya sangat ironis karena provinsi kita mengalami surplus padi dan memberikan kontribusi yang besar bagi produksi padi nasional," kata Budi. Dikatakan, Pemprov Jabar juga harus mencari faktor penyebab terjadinya rawan pangan, sehingga langkah-langkah untuk menanganinya jelas. "Cara seperti apa, mari kita bicarakan. Kita tidak ingin ada masyarakat yang rawan pangan," kata Budi. Efektivitas program Budi juga mempertanyakan efektivitas program APBD Jabar 2009 sebesar Rp 40 miliar untuk desa rawan pangan. Pada tahun lalu, katanya, Pemprov Jabar mengalirkan dana itu untuk membantu desa rawan pangan, yang saat itu jumlahnya baru 850 desa. "Kita juga mempertanyakan desa yang 4.000 itu desa baru atau desa yang sudah termasuk sebelumnya, yang jumlahnya 850 desa itu," kata Budi. Budi mengungkapkan, pemerintah semestinya membuat sistem ketahanan pangan yang kuat, tidak mudah terganggu kondisi apa pun. Meskipun terjadi kenaikan tarif dasar listrik (TDL), BBM, dan lainnya, sistem ketahanan pangan harus mampu menopang masyarakat. Pemerintah harus mencari alternatif-alternatif kebijakan agar terhindar dari rawan pangan. Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Jabar, Hasan Zaenal menyatakan, pihaknya belum mendapatkan laporan tentang adanya 4.000 desa yang rawan pangan. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Jabar, katanya, belum memberikan keterangan tentang hal itu. Namun, ia akan meminta klarifikasi BKP tentang data yang dimaksud. "Kita akan klarifikasi hal itu," kata Hasan ketika dihubungi melalui telepon selulernya. Menurutnya, jika data tersebut akurat, maka Jabar kini tengah menghadapi masalah serius. Pemerintah harus benar-benar melakukan terobosan-terobosan dalam membebaskan desa rawan pangan ini. "Kondisi ini jangan dibiarkan. Jangan sampai kondisi rawan pangan menjadi lebih parah," katanya. Rendah daya beli Kepala Badan Ketahanan Pangan Jabar, Luki Rulyawan sempat menyatakan, akibat rendahnya daya beli, sepertiga dari jumlah total desa di Jawa Barat masuk dalam kategori desa rawan pangan. Artinya, dari 6.000 desa di Jabar, penduduk di 4.000 desa dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan kebutuhan rata-rata sehari-hari. Dijelaskan, alasan kerawanan pangan yang dialami desa-desa tersebut bukan disebabkan faktor pasokan bahan makanan. Pada dasarnya Jabar tidak memiliki kesulitan dalam ketersediaan pasokan. Oleh karena itu, tambahnya, rawan pangan yang dialami penduduk di desa tersebut lebih disebabkan rendahnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, meski pasokan tersedia, masyarakat tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli bahan pokok tersebut. "Bukan berarti pasokan tidak ada. Sebenarnya tersedia, hanya akses untuk memperolehnya tidak ada. Masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan karena rendahnya daya beli," ujarnya. Lucky mengatakan, rendahnya daya beli dilihat dari beberapa indikator, salah satunya adalah jumlah penerima bantuan langsung tunai (BLT) dan program beras untuk warga miskin (raskin). "Sebenarnya penerima bantuan tersebut lokasinya menyebar, bahkan termasuk desa yang sebenarnya adalah sentra padi. Namun, ada indikator tambahan untuk mengategorikan desa tersebut termasuk rawan pangan," katanya. (B.83)** |
KOMITE BERSAMA PEDULI GARUT (KBPG), didalamnya tergabung : Garoet Institut, Forum Study dan Advokasi Sosial (FoRSAS), LSM Kelompok Kajian Perempuan dan Analisa Stretegis Garut( KKPS), Pesantren Jawiyah Darusufi Tijani Cibunar Garut
Wednesday, 30 June 2010
Desa Rawan Pangan Naik 370%
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment